Senin, 17 Juni 2013

CONTOH KASUS FIKTIF L/C BNI




KASUS ini bermula dari diterimanya L/C bernilai Rp 1,7 triliun oleh Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. L/C tersebut dibuka oleh bank-bank yang selain bukan merupakan koresponden Bank BNI, juga bank-bank yang berasal dari negara-negara dalam kategori berisiko tinggi (high risk countries).
Bank-bank tersebut adalah Dubai Bank Kenya Limited; Rosbank Switzerland SA; Middle East Bank Kenya Ltd; dan The Wall Street Banking Corp, Cook Islands Beneficiary (eksportir). Sementara yang menerima L/C adalah perusahaan-perusahaan dalam Gramarindo Group dan Petindo Group. Komoditas yang diekspor adalah pasir kuarsa dan residu minyak dengan negara tujuan Kenya dan beberapa negara di Afrika.
Awal terbongkarnya kasus menghebohkan ini adalah tatkala BNI melakukan audit internal pada bulan Agustus 2003. Dari audit itu diketahui bahwa ada posisi euro yang gila-gilaan besarnya, senilai 56,77 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang amat besar dan negara bakal rugi lebih satu triliun rupiah.  Kasus ini menjadi fenomenal karena selain merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas pada keuangan negara secara makro.
Adapun Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
·         Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003
·          Opening Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd.
·         Total Nilai L/C : USD.166,79 juta & EUR 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 trilyun
·         Beneficiary/Penerima L/C : 11 perusahaan dibawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group
·         Barang Ekspor : Pasir Kuarsa dan Minyak Residu
·         Tujuan Ekspor : Congo dan Kenya
·         Skim : Usance L/C

Kronologi :
1.      Bank BNI Cabang Kebayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan Issuing Bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The  Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai hubungan koresponden langsung dengan sebagian bank tersebut di atas, mereka memakai bank mediator yaitu American Express Bank dan Standard Chartered Bank.
2.      Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor berjangka (kredit ekspor) atas L/C-L/C tersebut di atas kepada BNI dan disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp 1,6 trilyun dan Petindo Group menerima Rp 105 milyar.
3.      Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, Opening Bank tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabahpun tidak bisa mengembalikan hasil ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.
4.      Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut tidak pernah terjadi.
5.      Gramarindo Group telah mengembalikan sebesar Rp 542 milyar, sisanya (Rp 1.2 trilyun) merupakan potensi kerugian BNI.
Pada kasus LC fiktif bank BNI yang dituduhkan tersebut, modus operandi yang dilakukan kurang lebih yaitu sebagai berikut :
Antara Penjual ( Eksportir ) & Pembeli ( Importir ), Issuing Bank, Advising Bank & Negotiating Bank telah terjadi kesepakatan terlebih dahulu, sbb : 

I. KESEPAKATAN MULTILATERAL / INTERNATIONAL :
a.       Kesepakatan harga, volume, waktu pengiriman dan spesifikasi barang yang akan dibeli.
b.      Macam LC yang diterbitkan, persyaratan pencairan didalam LC, tgl diterbitkan, tanggal kadaluarsa.
c.       Bank yang akan menerbitkan LC adalah koresponden dari Bank Penjual didalam negeri atau harus ada Bank Penjamin didalam negeri (Advising Bank ) apabila bukan koresponden bank, sehingga dengan adanya Advising Bank, maka Negotiating Bank dapat melakukan pendiskotoan LC tersebut sesuai konvensi yaitu UCP.500.
d.      Penerbitan dan kemudian pengiriman LC harus menggunakan alat verifikasi yang telah disetujui oleh dunia internasional yaitu  SWIFT dengan Message Type .700, sehingga LC tersebut dikatakan GENUINE  ( benar,  baik, betul, akurat dan dapat dipercaya ).

II. KESEPAKATAN NASIONAL / DALAM NEGERI :
a.       Eksportir atau penjual barang,  telah conform dengan Banknya bahwa negotiating bank yang akan digunakan adalah sesuai dengan LC yang akan dikirim oleh Importir lewat Issuing Bank.
b.       Eksportir dan Bank didalam negeri telah terjadi kesepakatan untuk  melakukan  pendiskontoan  LC  yang  akan  diterima, setiap bank mempunyai aturan yang berbeda dalam rangka pendiskontoan LC ekspor tersebut, tapi yang sama adalah, bahwa  Bank  mempuinyai HAK REGRES,  yaitu  hak yang dipunyai oleh Bank di dalam negeri, yaitu apabila Issuing Bank atau Importir tidak membayar kepada Negotiating Bank, karena pendiskontoan yang telah dilakukan, dengan alasan apapun, maka Negotiating Bank dapat meminta pelunasan pembayaran kepada Nasabahnya atau eksportir yang dimaksud.
c.       Pendiskontoan LC ekspor, sama halnya dengan perjanjian kredit pada umumnya, pada saat terjadi wanprestasi di Luar negeri (Issuing Bank ), maka berlakulah hukum Nasional di Indonesia,    yaitu    perjanjian Kredit pada umumnya dan masuk dalam lingkup HUKUM PERDATA.
d.      Apakah penggunaan yang tidak sesuai tentang pemakaian hasil pendiskontoan atau hasil pencairan kredit adalah suatu tindakan PIDANA…..??????? dalam hal ini Tindakan Pidana Korupsi sesuai UU No.31/1999 jo UU.No.20/2001
e.       Dalam  perjanjian  Kredit  atau  pendiskotoan  LC  tersebut, Bank pada umumnya telah melakukan prinsip kehati-hatian bank, yaitu meninjau usaha, menilai asset sebagai jaminan pembayaran,  sehingga  apabila  terjadi  wanprestasi,  Bank tetap aman untuk menerima pengembalian dana yang telah dicairkan kepada nasabah,  baik berupa kredit atau pendiskontoan LC.
f.       Dokumen Pendukung disini adalah seolah-olah telah atau akan terjadi pengiriman barang dengan  menggunakan Bill of Lading, & dokumen lainnya yang diminta dalam LC, dikarenakan   antara Importir dan Eksportir dan juga antara Issuing   Bank   &   Negoriating   Bank,   sudah   terjadi kesepakatan, maka pembayaran tetap dilakukan pada saat jatuh tempo ( terbukti dari total 82 slip LC, hanya 37 Slip LC yang  belum  dibayar, itu pun karena dikasuspidanakan oleh BNI ).

Kesimpulan :
Pada LC seolah-olah telah atau aka nada pengiriman dengan dokumen yang disepakati didalam LC.
Dikarenakan kesepakatan-kesepakatan diatas telah terjadi maka,  terjadilah Pendiskontoan LC Ekspor oleh Bank BNI terhadap Gramarindo Group, didalam pelaksanaannya tidak pernah terjadi masalah, yaitu sejak bulan September 2002 sampai dengan Agustus 2003, Bank diluar negeri sebagai Issuing Bank, yang menerbitkan LC tersebut tetap membayar kepada Bank BNI atas pendiskontoan LC yang telah dilakukan terlebih dahulu dan karena pembayarannya dalam US. Dollar, maka pembayaran selalu melewati perjanjian Internasional, yaitu BANK SENTRAL di NEW YORK.

Solusi :
Setelah diketahui oleh Satuan Intern Pengawas Bank BNI, bahwa terjadi kesalahan prosedur untuk pendiskontoan LC tersebut, maka Bank BNI atas sepengetahuan direksi di kantor Pusat, menyetujui dibuat AKTE  PENGAKUAN  HUTANG atas total pendiskontoan LC yang terjadi dan masih ditambah dengan Borgtogh oleh Owner  dan  Konsultan  Investasi  Sagared  Group. Yang sebenarnya bahwa APU tersebut adalah sama dengan Letter of Indemnity partial yang terlampir per slip LC yang menyangkut HAK REGRES, yang kemudian direkapitulasi menjadi total angka didalam APU dengan tambahan jaminan/collateral saja.

friend